PELEPASAN GURU BESAR FAKULTAS BAHASA DAN SENI

Manusia dikaruniai indra, otak serta hati disamping bentuk fisik yang sempurna. Pengamatan melalui panca indra dan bernalar dengan otak dapat menghasilkan ilmu atau teori yang sebatas pada kulitnya saja, yaitu kebenarannya bersifat temporal dan relatif. Selanjutnya melalui indra, pikir dan kemampuan berimajinasi dihasilkanlah karya seni oleh para seniman, termasuk sastrawan yang tidak hanya mengkhayal dan melamun melainkan juga mengolah realitas dan melengkapinya dengan imajinasi. Puncaknya, melalui indra, pikir, imaji dan hati akan dihasilkan ilmu yang hakiki yang memiliki kebenaran mutlak. Ilmu yang dituntun oleh hati yang beriman akan mendekatkan diri pada Allah, ilmu yang demikian ini dimiliki oleh para ulama.

Demikian diungkapkan Guru Besar Ilmu Pendidikan Sastra Indonesia, Prof. Dr. Haryadi, M.Pd dalam acara orasi ilmiah dan pelepasan guru besar purna tugas. Orasi ilmiah berjudul `Ilmu, Bahasa dan Sastra Dalam Perspektif Agama` tersebut dilaksanakan Ruang Sidang Utama Rektorat UNY(14/9). Lebih lanjut Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni UNY tersebut mengingatkan kembali tentang Isaac Newton yang menemukan teori gravitasi bumi setelah mengamati buah apel yang jatuh dari pohon. “Nabi Ibrahim ketika melihat fenomena alam bintang, bulan dan matahari lalu menghasilkan teori ketuhanan bahwa Allah sang penciptanya yang harus disembah” kata Prof. Dr. Haryadi, M.Pd “Sementara itu seniman yang mengamati fenomena alam akan berimajinasi dan menghasilkan karya seni berupa puisi, cerita atau nyanyian”. Dari sinilah pria kelahiran Kebumen 12 Agustus 1946 tersebut menegaskan bahwa Nabi Ibrahim telah meletakkan landasan ilmiah dalam penelitian kualitatif, yang bertolak dari kegelisahan batin ketika seseorang melihat fenomena yang tidak masuk akal atau ketika melihat sesuatu yang menarik yang membuat penasaran sehingga muncul berbagai pertanyaan yang perlu dicari jawabnya.

Warga Perumnas Condongcatur Depok Sleman tersebut berpendapat bahwa manusia dan makhluk lain diberi sarana komunikasi yang berbeda secara signifikan. “Hewan memiliki alat komunikasi yang bersifat instink, tetap dan fungsional untuk berhubungan dengan sesamanya” katanya. Namun manusia diberi alat komunikasi berupa bahasa yang memiliki kekhasan yaitu dipelajari, dinamis, fungsional, alat bernalar dan berbudaya. Manusia dengan bahasanya dapat berkomunikasi, bernalar dan berbudaya serta berinteraksi dengan manusia lain dalam berbagai keperluan. Dalam teori komunikasi manusia yang berbicara tidak cukup menguasai bahasa tetapi juga harus menguasai bahasa tubuh, materi dan penalaran. Materi berupa gagasan atau perasaan adalah pesan yang ingin disampaikan dari pembicara pada pendengar, sedangkan bahasa tubuh dan lisan adalah lambang yang digunakan. Udara digunakan untuk saluran mengantar pesan kemudian muncul feed back. Dengan demikian terjadilah komunikasi dan interaksi dengan sesamanya.

Menurut Doktor dari Pascasarjana UNJ tersebut, karya sastra sebagai salah satu bentuk komunikasi digunakan untuk memuji Tuhan, mendidik manusia dan mempengaruhi makhluk lain. Kisah para nabi yang terdapat dalam Al Qur’an dan Alkitab juga berisi kisah masa lampau yang sarat dengan nilai pendidikan. “Salah satu bentuk sastra lisan yang pernah saya teliti adalah shalawat nabi” ujarnya. Bahkan dalam cerita binatang atau fabel sarat dengan ajaran moral, seperti yang terdapat pada relief Candi Sojiwan dan Candi Mendhut.

Dalam akhir orasinya, Prof. Dr. Haryadi, M.Pd berpesan bahwa untuk mewujudkan pendidikan sastra yang menyenangkan, dosen atau guru sastra harus bisa mendongeng. Caranya adalah dengan berguru pada tukang dongeng atau orang tua yang sering mendongeng pada anaknya sebelum tidur. Yang perlu direnungkan adalah pemilihan waktu yang tepat, hubungan personal yang intim, pilihan tema cerita yang relevan serta cara penyampaian cerita. “Kita perlu belajar pada mereka agar pendidikan sastra jadi wahana pendidikan yang menyenangkan” tutupnya.(dedy)